Minggu, 08 Februari 2015

ANAK KITA BERMASALAH

ANAK KITA BERMASALAH

oleh Rosilawati Febten 12 Januari 2012 pukul 20:03


Saat Anak Kita Bermasalah
Menjadikan anak-anak kita sebagai generasi penerus yang penuh dengan tanggung jawab, kejujuran, dan senantiasa berbuat baik adalah pekerjaan yang benar-benar tidak mudah, karena lingkungan anak-anak hari ini jelas sangat berbeda dengan saat kita masih seusia anak-anak kita hari ini. Semakin hari, tantangan itu semakin berat.

Allah sendiri mengingatkan kita sebagai orang tua bahwa betapa besarnya pertanggung jawaban kita kelak di hadapan Allah terutama dalam hal mendidik anak dan keluarga kita .
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (QS At-Tahrim: 6)

Yang terjadi di lapangan, sering kali orang tua sudah merasa mendidik anak dengan upaya maksimal dan sebaik mungkin, namun tidak jarang orang tua terheran-heran dan kebingungan menyaksikan perilaku anak yang diluar dugaan.

Pembentukan pola perilaku anak sesungguhnya tidak hanya terbentuk oleh bagaimana ayah dan ibunya mendidik dan menanamkan niali-nilai yang positif. Perlu kita perhatikan juga bahwa ternyata ada faktor pembentuk perilaku lain yang berada diluar kendali ayah ibu yaitu lingkungan si anak itu sendiri. Lingkungan memiliki peran yang begitu besar dalam pembentukan perilaku. Misal jika kita masih serumah dengan keluarga besar, maka selain ayah ibu tentu biasanya ada juga kakek, nenek, paman, bibi, suster, pembantu dan yang tak kalah adalah peran televisi dan internet.

Orang tua yang kurang memperhatikan lingkungan anak, berarti lalai dalam memberikan proses pendidikan anak yang baik.  Terlebih lagi bagi ayah ibu yang keduanya sama-sama bekerja, dan anak sering ditinggal di rumah dalam waktu yang lama bersama anggota keluarga lainnya. Jelas semua yang terjadi sangat sulit untuk kita kendalikan.

Ada sebuah kejadian sebuah keluarga kecil dengan kondisi ayah ibu keduanya bekerja. Sang Ayah sebagai karyawan diperusahaan swasta dan Ibu bekerja sebagai pramugari disebuah maskapai penerbangan nasional. Jika dilihat dari sudut pandang kemampuan finansial, keluarga ini cukup mapan. Ditandai dengan fasilitas yang termasuk kategori lengkap untuk ukuran keluarga kecil. Artinya, dari segi ekonomi keluarga ini termasuk yang berpenghasilan cukup baik. Namun karena kesibukan ayah dan ibu mengurus tanggung jawab ditempat kerja, maka anak lebih sering menghabiskan waktunya dirumah bersama pembantu.  Sementara ayah ibu hanya bisa menemani sewaktu libur saja.

Suatu ketika kedua orang tua muda itu tersadar tentang kondisi anaknya yang sangat berbeda dengan harapan mereka. Awalnya mereka menganggap dengan pemenuhan kebutuhan materi dan memfasilitasi si anak , sudah cukup untuk menjadikan anak mereka anak yang mandiri. Namun apa yang terjadi? Anak mereka sekarang menjadi anak yang penakut, manja, dan kurang bisa mengikuti pelajaran dengan baik di sekolah cenderung masuk di kelompok anak-anak yang kesulitan mengikuti pelajaran, lambat dalam mengerjakan sesuatu, gandrung main game dan menonton hingga lupa waktu, semagat beribadah yang rendah, hingga saat orang tua menasehati, si anak malah membangkang. Sampai satu hari mereka menyimpulkan bahwa anak mereka termasuk anak bermasalah.

Orang tua muda itu mulai bingung dengan keadaan anak mereka, satu ide yang terpikir adalah membawa anak mereka ke seorang terapis mental untuk memulihkan si anak dari semua kondisi kejiwaan yang semakin buruk.

Ini adalah salah satu fenomena yang tidak sedikit terjadi di masyarakat kita, orang tua dengan segudang aktifitas hingga melupakan pendidikan anak dirumah.

Adalah sebuah kesalahan jika orang tua menganggap anak seperti pakaian yang saat kotor tinggal di bungkus dan di bawa ke laundry service dan dibawa pulang kembali setelah bersih. Saat anak bermasalah ada beberapa  orang tua yang dengan cepat  membawa anak mereka ke terapis mental, psikolog, psikiater, hypnotherapist dan sejenisnya. Dan memasrahkan kepada orang lain untuk mengembalikan kondisi mental anak mereka pada kondisi yang ideal.

Bagaimana mungkin kita bisa menjadi ayah ibu yang mendapatkan cinta dari anak-anak kita, ketika solusi yang kita pilih adalah solusi yang justru menjatuhkan mental si anak. Tidak jarang ada anak yang dibawa orang tuanya ke konsultan psikologi dalam keadaan yang sangat tidak bahagia karena kedatangan mereka adalah atas keinginan orangtua. Dan bisa dipastikan cara seperti ini hanya membuat mental anak kita semakin rusak, karena dia merasa kurang dihargai.

Sebagai orang tua yang baik kita perlu lebih bijak saat mendapati perilaku yang negatif  pada anak anak kita. Biasanya perilaku negatif anak jika dikelompokkan hanya ada lima saja yaitu :
>Pola kebiasaan (makan berlebihan, ngompol, menggigit kuku)
>Perasaan takut (takut binatang, serangga, gelap, dokter, jarum, darah, dll)
>Perilaku (mencuri, berbohong, membantah, berteriak dll)
>Prestasi (nilai ujian, mengerjakan PR, Olah raga dll)
>Cinta diri (perasaan bersalah, tidak bahagia, mimpi buruk, PD, dll)

Sudah semestinya para ayah dan ibu ketika menemukan pola prilaku negatif di atas muncul pada anak anak kita, hendaknya orang tua bisa lebih bijak berusaha mencari penyebab mengapa anak sampai melakukan prilaku negatif. Biasanya anak-anak memilih untuk berperilaku negatif berangkat dari beberapa motivasi antara lain :
>Untuk mendapatkan perhatian dari orang tua
>Untuk mendapatkan kekuasaan dan mengalahkan orangtua
>Untuk membalas dendam dan menghukum orangtua yang menolak memberikan anak perhatian atau yang memaksa anak menuruti kemauan mereka Menjadi tidak produktif atau sakit dan memaksa orangtua merasa kasihan dan melayani mereka

Ayah ibu perlu lebih jeli memperhatikan perilaku, kemudian berusaha menemukan akar permasalahan yang menyebabkan anak berperilaku negatif. Karena kesalahan menemukan akar permasalah justru bisa mengakibatkan kesalahan pula dalam pemilihan solusinya.

Ada sebagian anak menjadi bermasalah sebenarnya adalah akibat kekurangan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.

Jika kita analogikan anak-anak kita sebenarnya memiliki sebuah ruang dalam dirinya untuk menyimpan cinta dan perasaan positif lainnya. Anggap saja bentuknya seperti tangki yang lengkap dengan kran. Disini tugas orang tualah untuk senantiasa memperhatikan apakah tangki cinta si buah hati masih penuh atau sudah kosong. Ayah dan Ibu harus memiliki perhatian khusus, memastikan tangki cinta sibuah hati tidak boleh kosong.  Saat orang tua lalai mengisi tangki cinta itu biasanya anak mulai menjadi bermasalah.

Karena sebenarnya saat anak dirumah, dia sedang mengisi tangki cintanya dan kemudian saat si anak keluar rumah, baik sekolah atau berkumpul bersama teman temannya , maka di sanalah anak menyalurkan cinta dan kebaikan yang ada dalam tangki miliknya kepada orang orang yang ada di luar rumah. Saat isi tangki cinta itu mulai menipis, anak akan kembali ke rumah untuk mengisi kembali dengan semua cinta, kebaikan dan kasih sayang orang tuanya.

Jika orang tua sibuk, maka kegiatan mengisi tangki cinta ini sering terlewatkan, dan baru tersadar saat anak mencari pengisi tangki cintanya di luar rumah. Banyak anak yang lebih dekat dan percaya pada temannya dari pada percaya kepada orang tuanya sendiri, lebih akrab dengan temanya dari pada orang tuanya.

Jika anak masih mengisi tangki cinta mereka di tempat yang positif tentu tidak ada masalah. Misal mereka datang ke masjid dan musholla, mengikuti kegiatan keagaamaan tentu baik baik saja. Namun bagaimana jika anak perempuan kita yang duduk di kelas tiga SMP misalnya, mengenal seorang lelaki SMA yang dianggap baik. Kemudian lelaki itu mengirim pesan singkat di telepon genggam anak kita  dengan tulisan : ”sayang kamu dah besar, dah saatnya kamu menentukan jalan hidup kamu sendiri. Dah bukan saatnya ngikutin maunya orang tua teruzz..miss u..muuaacchhs”. Ini adalah sepenggal kisah yang pernah disampaikan seorang ibu saat sharing di kelas parenting saya beberapa bulan yang lalu. Saat anak beliau lebih percaya pada teman lelakinya dari pada orang tuanya sendiri.

Miris mendengarkan ibu yang berkisah betapa beratnya ia mebesarkan anak, kemudian setelah anak itu tumbuh akhirnya meninggalkan orang tua mereka.

Sahabatku, Anda yang telah menjadi Ayah dan Ibu atau para calon orangtua yang baik, mengisi tangki cinta itu penting dengan memberikan perhatian kepada anak kita dengan secara intensif, antara lain dengan :

>Memberikan sentuhan fisik seperti pelukan, ciuman di pipi, bermain yang melibatkan sentuhan fisik dan lain-lain.
>Kata-kata positif dan mendukung pada anak.
>Waktu Berkualitas : melakukan aktifitas bersama dengan anak tanpa ada orang lain.
>Hadiah : memberikan hadiah kesukaannya.
>Layanan : melayani kebutuhan anak yang penting baginya.

Dalam sebuah riwayat kita bisa belajar bagaimana Rasulullah saw senantiasa mengisi tangki cinta anak beliau :Dari Anas bin Malik ra ia berkata: “Rasulullah saw pernah membawa putra beliau bernama Ibrahim, kemudian mengecup dan menciumnya.” (HR. Al-Bukhari)

Sebagai orang tua tak perlu malu dan jaga image dihadapan anak agar terlihat berwibawa, kita perlu memupuk cinta anak anak kita dengan senantiasa membangun keakrapan dengan mereka.

Abu Hurairah ramenceritakan: “Rasulullah saw pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali Radhiallaahu anhu. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” (Lihat Silsilah Shahihah no.70)

Bermainlah dengan anak, tak perlu malu meski Anda terlihat lucu.

Perlu disadari  bahwa tidak mungkin ada perilaku negatif yang muncul secara tiba-tiba. Pasti semua ada penyebabnya, ada struktur dan pola terjadinya. Maka  butuh kesabaran orang tua dalam proses mengatasi masalah anak tersebut.  Saat orang tua menemukan perilaku negatif anak hendaknya dengan penuh kesadaran dan penghargaan pada anak, orang tua melakukan pendekatan hingga tercapai langkah langkah menuju solusi yaitu :
>Orang tua dan anak menyadari bahwa memang ada masalah yang perlu diatasi
>Orang tua dan anak mengakui bahwa memang ada masalah yang perlu diatasi
>Orang tua dan anak Menerima bahwa memang ada masalah yang perlu diatasi
>Orang tua dan anak secara sadar mau mengatasi masalah.

Dengan demikian anak tidak akan merasa dihakimi, karena anak justru merasa mendapat perhatian dari ayah ibunya.

Ada beberapa cara yang bisa dipilih orang tua dalam melakukan pendekatan kepada anak saat mereka dianggap memiliki perilaku negatif, mulailah mencari tahu informasi yang lengkap tentang masalah anak dengan melakukan :
>Berdiskusi dengan pasangan mengenai masalah Anak
>Berdiskusi dengan Anak
>Cari tahu siapa idolanya, atau acara TV kesukaannya.
>Cari tahu apa Hobinya
>Cari tahu apa cita citanya
>Siapa nama kawan yang dia suka dan tidak suka

Masih banyak lagi cara lain yang sebenarnya tidak baku, kita bisa berkreasi sendiri dengan mencoba cara-cara yang cocok dengan budaya yang ada di rumah kita masing masing.

Yang tidak kalah penting adalah senantiasa mengendalikan emosi kita agar kasih sayang tidak berubah menjadi kemarahan, Rasulullah saw mengajarkan kita agar mendoakan anak kita. Pertanyaannya adalah kapan terakhir kali Ayah Ibu mendo’akan dengan tulus anak-anak kita?

Dari ‘Aisyah ra ia berkata: “Suatu kali pernah dibawa sekumpulan anak kecil ke hadapan Rasulullah saw, lalu beliau mendoakan mereka, pernah juga di bawa kepada beliau seorang anak, lantas anak itu kencing pada pakaian beliau. Beliau segera meminta air lalu memer-cikkannya pada pakaian itu tanpa mencucinya.” (HR. Al-Bukhari)

Dengan demikian kita bisa senantiasa membangun kedekatan pada anak kita, membuat mereka lebih terbuka pada kita para orang tua. Semoga solusi-solusi yang progresif bisa hadir dalam meningkatkan kualitas anak-anak kita.

Pastikan Anak kita yakin bahwa kita adalah orang tua terbaik mereka, tempat mereka mendapatkan semua cinta, perhatian dan kasih sayang.

Wallahu’alam.

ahmad lubis


Jika Anak Melawan Orang Tua

Anak kadang sering melawan pada orang tua sehingga keharmonisan antara anak dengan orang tua berkurang. Kita sebagai orang tua tidak mungkin bertengkar dengan anak, kalau sampai bertengkar dengan anak, anak akan semakin berani pada orang tua, apalagi anak yang sudah dewasa secara fisik. Jika Saudara sebagai orang tua memiliki anak yang sering melawan pada orang tua, ada beberapa cara yang perlu dilakukan pada anak supaya anak tidak tidak melawan pada orang tua.

1. Tanyakan pada diri kita saat berhadapan dengan anak yang marah apakah kita sebagai orang tua memenangkan ‘pertempuran’ atau mengubah perilakunya? Berilah penjelasan pada anak bahwa kata-kata kasar itu tidak bisa diterima. Hindarilah perdebatan panjang. Ini bukan soal memenangkan pertempuran melawan anak, tetapi menghentikan perilakunya.
2. Bila si kecil disuruh berpakaian menjawab,”Nggak mau!” Lihatlah pakaian itu dan tanyakan, ”Mengapa?”. Misalnya, ia mengatakan hanya mau memakai celana berkantong yang ternyata masih dicuci. Berpikirlah kreatif. ”Bagaimana kalau pakai ransel? Kita anggap saja ini kantong-kantong di belakang?
”Gagasan ini memfokuskan kembali perhatian anak untuk mencari pemecahan sekaligus menunjukkan bahwa orang tuanya memperhatikan permasalahannya. Atau bisa juga, tanyakan padanya, ”Bagaimana cara kita memecahkan masalah ini?” Anak-anak berhak mengeluarkan pendapatnya, tetapi tak boleh menginjak-injak perasaan orang lain.
3. Ketika anak berumur tujuh tahun membantah, amatlah mudah berpikir bahwa dia melakukannya untuk menyakiti kita. Padahal anak-anak kecil biasanya tidak memikirkan efek ucapannya pada orang tuanya. Yang mereka pikirkan adalah diri mereka sendiri dan cara untuk mendapat perhatian.
4. Kita menginginkan anak-anak bisa mengungkapkan pendapatnya. Bila menyuruh anak membuang sampah dan dia bilang,”Buang aja sendiri.” Anda menjawab, ”Anak kurang ajar!” Itu berarti Anda menyerang pribadinya. Lebih baik katakan, ”Bersih-bersih terkadang memang berat. Perlu bantuan?” Yang penting anak merasa dia menjadi bagian keluarga yang saling menghormati.
5. Bila anak biasa membuat pernyataan negatif, hadapilah. Tapi, hindari pernyataan ”Mengapa kamu selalu berkomentar buruk seperti itu?” Anak merasa dituduh, dan akan bertindak defensif. Sebaliknya, cobalah. ”Belakangan ini tampaknya kamu marah sama Ibu, apa sih masalahnya?” Anak akan merespons dengan sungguh-sungguh. Kemudian, beritahu dia bahwa bila lain waktu ada sesuatu yang mengganggunya, katakanlah langsung tanpa lewat pernyataan kasar yang menyakiti Anda yang malah tak menyelesaikan masalah.
6. Pada anak yang lebih besar, membantah biasanya sebagai taktik untuk mengalahkan orang tua. Untuk menghentikan kebiasaan ini, ulangi saja dengan sangat tenang pernyataan pendek yang secara jelas menyatakan sikap Anda. Misalnya, suatu waktu anak ingin main-main ke mal bersama teman-temannya dan Anda tak mengizinkannya. ”Kenapa nggak boleh?” rengeknya. ”Sudah nggak bisa ditawar lagi,” jawab Anda. ”Apa aja nggak boleh.” ”Sudah tidak bisa ditawar lagi.”
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.
Terima kasih.

Fajriati Maesyaroh, Psi


Anak TK Bicara Pacar? Kenalkan Makna Cinta pada Anak Sejak Dini*
BAHASAN tentang cinta seolah tiada tepinya. Berbagai macam sudut pandang hadir ke permukaan untuk mendefinisikan secara pasti tentang arti cinta yang sesungguhnya.

Namun, pada umumnya cinta banyak dikupas pada aspek hubungan spesial antara pria dan wanita dewasa. Selebihnya, kurang mendapat perhatian memadai. Padahal, dalam kehidupan, bukan hanya remaja, anak kecil pun sudah akrab dengan kata cinta.

Anak-anak kita hari ini, disadari atau tidak telah terkontaminasi dengan pengertian dan praktik cinta yang salah, khususnya pada aspek hubungan lawan jenis. Bisa dibayangkan, anak belum TK saja sudah biasa mengatakan kata pacar.

Lebih dari sekedar kata, anak-anak balita ini juga memberi perhatian khusus kepada teman yang diakuinya sebagai pacar. Seorang ibu pernah bertutur, suatu saat anak putrinya terlihat cukup sibuk mempersiapkan sesuatu yang akan dibawa ke sekolah. Setelah diteliti, ternyata ada buah dan susu mineral yang lebih dari satu.

Keesokan harinya, sang ibu bertanya kepada anaknya. “Nak, kenapa kemarin bawa buah dan susu agak banyak?” Sang anak menjawab polos, “Itu kan untuk pacar aku di sekolah ma. Dia itu anaknya baik, suka ngasih susu juga ke aku. Teman-teman bilang dia itu pacarku,” jelasnya.

Berikan Pemahaman

Mungkin ada beragam pendapat terhadap kasus tersebut. Tetapi yang namanya anak, meskipun secara umur, akalnya belum mampu bekerja secara dewasa, tetapi memori dan perasaannya sudah mulai aktif. Kita tidak bisa bayangkan, jika suatu saat dia dewasa dan menikah, kemudian menganggap masa sekolah dengan pacarnya itu dianggap sebagai masa paling indah.

Jelas ini suat kekeliruan. Belum lagi, kalau kemudian ada kemungkinan yang mengarah hubungan masa kecil itu bersemi kala dewasa. Sementara satu di antaranya telah berumah tangga. Jelas ini bahaya. Mungkin, ini terlalu jauh, tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa memori kebanyakan orang bersama pacar adalah memori yang sulit dilupakan.

Untuk itu, tugas orangtua di era modern ini tidak cukup pada soal anak berangkat sekolah atau tidak. Tetapi lebih jauh harus memantau pergaulan anak-anaknya, meskipun masih usia TK atau balita. Karena, pada masa tersebut, memori sudah aktif dan perasaan juga sudah bekerja.

Kasus lain cukup menggelikan, tetapi ini berdampak serius terhadap pemahaman anak. Suatu saat di senja hari, anak-anak bermain bersama teman sebayanya. Seorang bu melihat tanpa sengaja, putrinya berpelukan dan berciuman dengan anak tetangga yang laki-laki.

Usai makan malam, sang ibu bertanya. “Kenapa tadi mainnya kok pakai ciuman dan pelukan segala?” Anaknya dengan santai menjawab, “Itu kasih sayang ma. Aku sayang sama teman-temanku.”

Tentu ini satu peristiwa yang boleh jadi kasuistik. Tetapi, kalau dinalar secara sederhana saja, pemahaman dan praktik cinta yang salah ini memang merebak dimana-mana, terutama di televisi. Berbagai tayangan film, sinetron, termasuk iklan produk, bahkan kini juga masuk dalam dunia komedi, secara perlahan namun pasti semua itu merasuki otak anak.

Maka di sini, para orangtua mesti waspada. Pepatah mengatakan, kebakaran besar terjadi berawal dari percikan api yang kecil, namun tidak disadari dan dibiarkan. Lantas bagaimana kita memahamkan masalah cinta dan kasih kepada anak-anak.

Islam telah memberikan panduan jelas tentang hal ini. Pertama, orangtua mesti mengenalkan kepada anak-anaknya perihal jenis kelamin. Anak harus tau bahwa dirinya perempuan atau laki-laki. Setelah itu, masuk satu penjelasan bahwa seorang perempuan dilarang berciuman atau berpelukan dengan teman laki-laki.

Kedua, anak diarahkan untuk memahami apa itu cinta dan kasih sayang. Berciuman dan berpelukan itu memang tanda cinta dan kasih sayang. Tetapi itu hanya berlaku dalam keluarga, anak kepada ayah, atau ayah kepada ibu. Ciuman dan pelukan itu tidak berarti cinta dan kasih bagi anak-anak yang beda jenis kelamin.

Pengertian ini mungkin dianggap terlalu berlebihan atau lebay dalam bahasa gaulnya, tetapi ini harus masuk dalam sistim kesadaran anak-anak kita sendiri, sebagai kandidat Muslim penerus generasi umat.

Ketiga, selain membiasakan berjilbab bagi anak perempuan, setiap hari orangtua mesti memberikan atau menguji pemahaman anak perempuannya perihal jilbab. “Kenapa pakai jilbab,” misalnya suatu saat kepada anak yang sudah biasa berjilbab. Hal ini untuk mengetahui apakah anak sudah memahami atau sekedar terbiasa berjilbab saja.

Tanamkan Rasa Cinta Kepada Allah
Tugas terberat para orangtua adalah menanamkan rasa cinta kepada Allah pada diri anak-anaknya. Tetapi, ini bukan suatu misteri. Ada keteladanan yang diajarkan oleh Ibunda Siti Maryam.
“(Ingatlah), ketika isteri Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 3: 35).

Secara eksplisit ini memang sebuah doa, tetapi secara implisit ini adalah satu tekad besar seorang ibu untuk menanamkan rasa cinta kepada Allah yang begitu kuat kepada anaknya. Peristiwa ini juga mengajarkan kita bahwa berkeinginan apa pun kita, lebih-lebih keinginan yang mulia, jangan sampai tidak diawali dengan doa.

Lantas, bagaimana teknis untuk menanamkan cinta kepada Allah pada diri seorang anak? Ada banyak pendapat mengenai hal ini. Namun, cinta itu bisa tumbuh tidak cukup hanya dengan pemaparan abstrak. Sangat baik jika para orangtua senantiasa menceritakan kisah keteladanan hidup para Nabi, khususnya Nabi  Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.

Bagaimana para Nabi itu membangun diri, kedisiplinan, kesabaran dan kesungguhan dalam berjuang. Bahkan karena begitu semangatnya para Nabi itu sampai tidak meninggalkan sholat, sampai-sampai tengah malam pun bangun sholat dan seterusnya, hingga Allah akhirnya meridhai dan mencintai Nabi-Nabi itu dan menjadikan mereka sebagai semulia-mulia manusia.

Kemudian, andai kata anak meminta sesuatu dari orangtua, orangtua hendaknya tidak langsung menjawab, “Iya, kapan-kapan kita beli ya.” Tapi sampaikanlah kepada mereka, “Iya, boleh. Ayo kita perbanyak doa, dzikir dan syukur kepada Allah, sehingga Allah ridha dan cinta kepada kita dan memudahkan kita untuk mendapatkannya,” misalnya.

Jadi, sering-seringlah mengenalkan Allah melalui kisah teladan para Nabi. Kemudian, ajak anak-anak kita untuk terus mendekat kepada Allah dalam segala situasi dan kondisi. Dengan demikian, insya Allah memori anak akan dipenuhi kata Allah, yang itu pasti akan sangat bermanfaat baginya di kala dewasa.*

Rep: Imam Nawawi


INI DIA CARA MENGHADAPI ANAK PEMARAH *
Sebagai orang tua, kita mungkin sering mengeluhkan perilaku anak-anak yang kurang sesuai dengan harapan kita. Walaupun jika ditilik lebih jauh, sebenarnya orang tualah yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan perilaku anak tersebut. Di antara perilaku anak yang sering kita dapati adalah lancang (berani melawan orang tua) dan pemarah.

Dalam menyikapi hal ini, diperlukan pendidikan yang tepat terhadap anak, terutama pendidikan terhadap keseimbangan emosi anak. Sebagai orang tua, sudah seharusnya memahami cara mendidik anak dengan baik. Dalam tulisan ini, ada tujuh metode yang akan membantu orang tua dalam mendidik anak, terutama untuk menghilangkan sikap lancang, pemarah dan sikap negatif lainnya pada sang anak dengan pendidikan dan sikap yang positif dari orang tua.

1. Melatih anak mengungkapkan isi hatinya
Orang tua hendaknya mengajarkan kepada anak bagaimana mengungkapkan isi hatinya dengan kata-kata. Karena terkadang anak memilih mengungkapkan isi hatinya dengan perilaku-perilaku yang tidak baik, misalnya marah-marah, berteriak, menggigit kuku, merobek baju dan perilaku negatif lainnya sebagai bentuk ungkapan isi hati mereka. Oleh karena itu, orang tua sudah seharusnya mengajarkan kepada anak, bagaimana mengungkapkan isi hati mereka dengan berbicara baik-baik.

2. Memberikan pujian
Ketika anak sudah bisa mengungkapkan isi hatinya yang sedang kesal dengan pembicaraan yang baik, sebaiknya kita memberikan pujian kepadanya. Selain itu kita juga terus membantunya untuk mengungkapkan perasaannya, terutama perasaan-perasaan negatif seperti kesal, jengkel, marah, iri. Perilaku orang tua seperti ini jauh lebih baik dari pada sekedar diam atau bahkan malah memarahi si anak.

3. Mengabaikan kemarahan si anak
Mengabaikan kemarahan si anak, bukan berarti kita tidak memperdulikan mereka, akan tetapi ketika anak mulai marah sebaiknya kita tidak buru-buru memberikan perhatian. Karena, jika si anak mengira bahwa kemarahannya bisa menarik perhatian kita, maka anak akan semakin sering melakukannya. Hal yang perlu dilakukan orang tua adalah dengan mendatangi si anak yg sedang marah tadi, kemudian menjelaskan bahwa bukan kemarahan anak yang membuat orang tua jadi perhatian, tetapi ada hal penting yang harus dibicarakan antara orang tua dan anak. Dengan ini diharapkan si anak akan terlupa dari marahnya dan beralih ke dialog dengan orang tua.

4. Tegas
Jika si anak tetap dalam sikap lancang atau marah, satu waktu orang tua juga harus bersikap tegas kepada anak, tetapi dengan sikap tenang dan tidak marah-marah. Karena, jika orang tua menasehati anak untuk tidak marah, tetapi dia sendiri dalam keadaan marah, anak justru sulit untuk menerima nasihat itu. Dalam memberi nasihat, orang tua seharusnya juga memberi contoh langsung.

5. Jangan menghukum anak
Ketika anak terus-menerus marah atau bersikap lancang, sebaiknya orang tua tidak menghukumnya. Tetapi, orang tua harus terus-menerus memberikan arahan dan nasihat sekaligus memberikan anak kesempatan untuk mengungkapkan kekesalannya. Orang tua juga membantu anak untuk mengungkapkannya, bisa lewat dialog atau lainnya, sehingga anak bisa dengan mudah mengungkapkan apa yang sedang dipikirkannya. Bagi orang tua, lebih bagus lagi jika sering-sering mengungkapkan perasaan sayangnya ke anak.

6. Permainan menahan emosi
Sebagai orang tua, hendaknya membiasakan diri untuk memberikan anak permainan-permainan yang dengannya anak-anak bisa dilatih untuk mengatur emosi mereka. Misalnya, dengan memberikan bintang (nilai) kepada anak yang bisa menahan emosi mereka pada saat yang sebenarnya hal itu mudah membuat mereka marah. Kemudian memberikan dua bintang untuk anak yang sudah marah, tetapi mampu meredam amarahnya dengan mengungkapkan kemarahan itu melalui kata-kata atau dialog. Dan permainan-permainan lainnya yang pada intinya dapat melatih anak-anak bagaimana mengungkapkan kemarahan dengan cara yang benar.

Kemudian, orang tua hendaknya selalu menanamkan pemahaman kepada anak, bahwa seorang yang kuat adalah orang yang bisa menahan dirinya, sebagaimana sabda Nabi saw, “Kekuatan bukanlah (dilihat) dari (cara dia) bergulat, akan tetapi kekuatan adalah barangsiapa yang bisa menahan dirinya ketika marah.” Orang tua harus menanamkan makna hadits ini serta mengingatkan mereka bahwa kejahatan pertama dalam sejarah umat manusia adalah terbunuhnya Habil di tangan Qabil. Salah satu sebabnya adalah karena Qabil mengungkapkan kemarahannya dengan cara yang salah, dan akhirnya hanya menimbulkan penyesalan, sebagaimana pepatah Arab mengatakan, “Marah, diawali dengan kegilaan dan di akhiri dengan penyesalan.” Anak-anak juga harus diajarkan bagaiman mengatur amarah mereka dengan Isti’adzah, berwudhu dan merubah posisi dari berdiri ke duduk dan seterusnya sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi saw.

Dari pengalaman beberapa orang, ada beberapa cara untuk menghilangkan marah pada anak. Salah satu orang tua memberikan cermin kepada anaknya yang sedang marah dan berkata kepadanya, “Coba lihat wajahmu di cermin!” Setelah beberapa saat, anak pun berhenti marah bahkan malah tertawa.

Cara lain yang dilakukan salah satu orang tua adalah, ketika anak marah orang tua membuat sebuah garis di atas kertas yang di gantung di dinding, jika sang anak tidak jadi marah, maka orang tua menghapus garis tersebut, begitu setersunya sampai anak akan melihat sendiri betapa seringnya dia marah.

Ada juga seorang ayah yang membuat kesepakatan dengan anaknya, bahwa ketika sang anak marah dia akan mengungkapkan kemarahannya itu dengan menulis di kertas. Lain lagi dengan orang tua yang menghadapi kemarahan anaknya dengan hal-hal yang lucu. Cara-cara di atas terbukti bisa mengendalikan amarah pada beberapa anak, tentunya setiap anak akan berbeda pula penanganannya.

Dari beberapa cara di atas, hal yang tidak boleh kita lupakan sebagai orang tua adalah senantiasa memahamkan kepada anak, kapan, di mana dan kepada siapa marah itu boleh dilakukan. Jika anak mampu mencapai tahapan ini dalam mengatur emosi mereka, maka inilah yang dinamakan “Kecerdasan Emosional.” Hal ini sangat penting untuk menjaga kesehatan mental anak-anak dan dengan melakukan cara-cara di atas, diharapkan anak kita bisa mencapai “Kecerdasan Emosional”.

Dari artikel :Dr. Jasem Al-Matuu’ 

Memperhatikan anak pada usia 6 tahun petama
Pada periode ini anak menjadi lebih siap belajar secara teratur. Ia mau menerima pengarahan lebih banyak, dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan teman-teman sepermainannya. Dapat kita katakan, pada periode ini anak lebih mengerti dan lebih semangat untuk belajar dan memperoleh keterampilan-keterampilan, karenanya ia bisa diarahkan secara langsung.Oleh sebab itu, masa ini termasuk masa yang paling penting dalam perndidikan dan pengarahan anak.

Kita, Insya Allah, akan membicarakan tentang aspek-aspek terpenting yang perlu diperhatikan oleh para pendidik pada periode ini. Yaitu:
1. Pengenalan Allah dengan cara yang sederhana.
Pada periode ini dikenalkan kepada anak tentang Allah ‘Azza Wajalla dengan cara yang sesuai dengan pengertian dan tingkat pemikirannya.
• Bahwa Allah Esa, tiada sekutu bagi-Nya.
• Bahwa Dialah Pencipta segala sesuatu. Pencipta langit, bumi, manusia, hewan, pohon-pohonan, sungai, bumi, pepohonan dan lain-lainnya, untuk menggugah perhatiannya kepada keagungan Allah.
• Cinta kepada Allah, dengan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang dikaruniakab Allah untuknya dan untuk keluarganya. Misalnya, anak ditanya:
Siapakah yang memberimu pendengaran, penglihatan dan akal?
Siapakah yang memberimu kekuatan dan kemampuan untuk bergerak?
Siapakah yang memberi rizki dan makanan untukmu dan keluargamu?

Demikianlah, ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang nyata dan dianjurkan agar cinta dan syukur kepada Allah atas nikmat yang banyak ini.
Metode ini disebutkan dalam Al Quran, dalam banyak ayat Allah menggugah munat para hamban-Nya agar memperhatikan segala nikmat yang dikaruniakan-Nya, seperti firman-Nya:
“Tidakkkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kepentinganmu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat lahir dan batin….”(Surah Luqman:20).

“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepadamu dari langit dan bumi…”(Surah Fathir:3).

Dan dengan rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan kamu bersyukur kepada-Nya.”(Surah al Qashash:73).

2. Penajaran sebagian hokum yang jelas dan tentang halal-haram.
Diajarkan kepada anak menutup aurat, berwudhu, hukum-hukum thaharah (bersuci) dan pelaksanaan shalat. Juga dilarang dari hal-hal yang haram, dusta, adu domba, mencuri dan ,meihat kepada yang diharamkan Allah. Pokoknya, disuruh menetapi syariat Allah sebagaimana orang dewasa dan sicegah dari apa yang dilarang sebagaimana orang dewasa, sehingga anak akan tumbuh demikian dan menjadi terbiasa.

Karena bila semenjak kecil anak sibiasakan dengansesuatu, maka kalau sudah deeasa akan menjadi kebiasaannya. Agar diupayakan pula pengajaran ilmu pengetahuan kepada anak, sebagaimana kata Sufyan Al Tsauri:
“ Seorang bapak barns menanamjan ilmu pada anaknya, karena dia penanggung jawabnya.”

3. Pengajaran Baca Al Quran. Al Quran adalah jalan lurus yang raj mengandung suatu kebatilan apapun. Maka amat baik jika anak dibiasakan membaca Al Quran dengan benar, dan diupayakan semaksimalnya afae menghafal Al Quran atau sebagian besar darinya dengan diberi dorongan melalui berbagai cara. Karena itu, kedua orang tua hendaklah berusaha agar putera puterinya masuk pada salah satu sekolah tahfizh Al Quran, kalau tidak bisa, diusahakan masuk pada salah satu halaqah tahfizh.

Diriwayatkan Abu Dawud dari Mu’adz bin Anas bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda:”Barang siapa membaca Al Quran dan mengamalkan kandungan isinya, niscaya Allah pada hari kiamat mengenakan kepada kedua orang tuanya sebuah mahkota yang cahayanya lebih indah daripada cahaya matahari di rumah-rumah dunia. Maka apa pendapatmu tentang orang yang mengamalkan hal ini”.

Para salaf dahulu pun sangat memperhatikan pendidikan tahfizh Al Quran bagi anak-anak mereka. Syaikh Yasin bin Yusuf Al Marakisyi menceritakan kepada kita tentang imam An Nawawi, Rahimahullah, katanya:”Aku melihat beliau ketika masih berumur 10 tahun di Nawa. Para anak kecil tidak mau bermain dengannya dan iapun berlari dari mereka seraya menangis, kemudian ia membaca Al Quran.

Maka tertanamlah dalam hatiku rasa cinta kepadanya. Ketika itu bapaknya menugasinya menjaga took, tetapi ia tidak mau berjualan dan menyibukkan diri dengan Al Quran. Maka aku datangi gurunya dan berpesan kepadanya bahwa anak ini siharapkan akan menjadi orang yang paling alim dan zuhud pada zamannya serta bermanfaat bagi umat manusia.ia pun berkata kepadaku: Tukang ramalkah Anda?
Jawabku: Tidak, tetapi Allah-lah yang membuatku berbicara tentang hal ini. Bapak guru itu kemudian menceritakan kepada orang tuanya, sehingga memperhatikan beliau dengan sungguh-sungguh sampai dapat khatam Al-Quran ketika menginjak dewasa.

4. Pengajaran hak-hak kedua orang tua Diajarkan kepada anak untuk bersikap hormat, taat dan berbuat baik kepada orang tua, sehingga terdidik dan terbiasa demikian. Anak sering bersikap durhaka dan melanggar hak-hak orang tua disebabkan karena kurangnya perhatian orang tua dalam mendidik anak dan tidak membiasakannya berbuat kebaikan sejak dini. Firman Allah Ta’ala:
‘Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlarh:
”Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebafaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

(Surah)

Jurus Jitu Mendidik Anak
1. MENDIDIK ANAK PERLU ILMU
Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan pekerjaannya. Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.
Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua. Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai.
Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas. Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!

Ilmu Apa Saja yang Dibutuhkan?
Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai variannya, hingga ilmu cara berkomunikasi dengan anak.
Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah.” (H.R. Tirmidzi dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”).

Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk para orangtua,
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun.” (H.R. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani).

Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?
Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain. Dalam hal ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempraktikkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasihati seorang anak kecil,
“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah)

Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak lainnya.

JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANG TUA
Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimas salam. Ya, di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan untuk sekadar menjamu mereka berdua. Sebelum meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan bahwa rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan orang tua mereka yang salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut dewasa dan mengambil manfaat dari harta itu.

Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia sekalipun.[1] Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya.

Urgensi Kesalihan Orang Tua dalam Mendidik Anak
Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan kita selaku orang tua. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan dosa!
Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insya Allah itupun juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan, “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!

Beberapa Contoh Aplikasi Nyatanya
Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton televisi. Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Quran, ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Quran yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu!

Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua kita sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan?
Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur?
Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…” Tapi ternyata, kita malah pulang malam!

Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya. Terus apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insya Allah kamu bisa ikut.”

Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!

Sebuah Renungan Penutup
Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orang tua dan anak.
Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu ber-facebook-an dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!

Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita terus seperti ini?? 
Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang. Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan orangtua.Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…

JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN
Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa. Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala. Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan.Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah.

Apa Sih Kekuatan Keikhlasan?
Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
1. Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan
Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana. Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insya Allah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan.
2. Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot
Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi bersinar. Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk sekadar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan yang berbobot. Sebab bobot kata-kata kita kerap bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…
3. Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur
Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan suasana hati kita. Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orang tuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?
Manakala si anak merasakan ketulusan hati orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasihat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.
4. Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala
Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan. Artinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka.” (Q.S. Ath-Thur: 21)
Dipertemukan di mana? Di surga Allah Jalla wa  ’Ala![2]

Mulailah dari Sekarang!
Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan. Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang buruk. Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya, suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah. Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu, beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…

JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN
Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.
Di antara episode perjalanan hidup yang membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita.

Contoh Aplikasi Kesabaran
1. Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak
Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,
"Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insya Allah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu. Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama.

2. Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak
Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat, memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel dengan pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.
Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa. Jika kita ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik! Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!

3. Sabar menjadi pendengar yang baik
Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal-usul kejadiannya.
Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan.
Bahkan setiap kali anak hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/mama tahu kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!” Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.
Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk menjadi pendengar yang baik. Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan.
4. Sabar manakala emosi memuncak
Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk menjadikan anak lebih baik.
Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; yakni berwudhu.
Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.

Berakit-rakit ke Hulu
Pepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.
Sabar dalam mendidik anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada orangtuanya insya Allah. Dan manakala kita telah masuk di alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus mengalir deras. Semoga…

JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA
Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jumat di masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil menangis terisak,
“Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses, dan seterusnya. Benar, ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang
mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun, bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka.”

Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam al-Quran dan Hadits; “Rabbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrata a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). (Q.S. Al-Furqan: 74)

Seberapa Besar Sih Kekuatan Doa?
Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal itu dalam sabdanya,"Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi.” (H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani)


Sejak Kapan Kita Mendoakan Anak Kita?
Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,“Jika salah seorang dari kalian sebelum bersetubuh dengan istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak, niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya.” Hadits riwayat Bukhari (hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.

Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah, memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mencontohkan,“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang salih.” (Q.S. ash-Shâffât: 100).
Nabi Zakariya ‘alaihis salam juga demikian,“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (Q.S. Ali Imran: 38).

Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun, kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang mustajab. Antara azan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir misalnya. Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.

Awas, Hati-hati!
Doa orang tua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.
Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau bertanya, “Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”
“Ya” sahutnya.
“Engkau sendiri yang merusak anakmu,” pungkas sang Imam.

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

[1] Lihat: Tafsîr ath-Thabary (XV/366), Tafsîr al-Baghawy (V/196), Tafsîr al-Qurthuby (XIII/356), Tafsîr Ibn Katsîr
(V/186-187), Tafsîr al-Jalâlain (hal. 302-303) dan Tafsîr as-Sa’dy (hal. 435)
[2] Sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas ra yang diriwayatkan Imam al-Baihaqy dalam Kitab al-
I’tiqâd (hal. 183)

1 komentar:

  1. Jasa Pembuatan Ijazah
    • Bagi yang ingin selesai cepat tapi mengalami masalah dengan nilai yang bobrok !
    • Ingin mencari kerja tapi terkendala dengan ijazah !
    • Bagi para pejabat yang ingin memiliki kedudukan di legislatif tapi terkendala dengan ijazah !
    Kami PT. Marta Dinata hadir di hadapan anda untuk mengulurkan tangan kepada sodar(i) ku agar cita-cita dan harapan bisa terwujud secepatnya, kami siap membantu anda semaksimal mungkin untuk mendapatkan ijazah dari Universitas dan Perguruan Tinggi yang anda inginkan.
    Ijazah yang kami buat adalah ijzah asli dari Kampus yang sudah Terakreditasi dan diakui oleh DIKTI (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi). Oleh karena itu bagi yang berminat, khususnya yang ingin cepat-cepat mendapatkan pekerjaan silahkan langsung hubungi kami di no : 021-5035 7999 / 0822 9194 0095 atau kunjungi website resmi kami www.ptmartadinata.com

    BalasHapus