Minggu, 08 Februari 2015

MUSIBAH I

Assalamu'alaikum wr.wb.

Jika seorang MUSLIM yang tertimpa:"keletihan/kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan ataupun gundah gulana" Maka dengannya ia akan mendapatkan ampunan dosa, dan mendulang pahala. Mengapa? Karena ia MENGHADAPINYA DENGAN SABAR... Rasuulullaah saw bersabda: “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Segala perkara yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap takdir yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila kebaikan dialaminya, maka ia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila keburukan menimpanya, DIA BERSABAR dan hal itu merupakan kebaikan baginya.” [HR. Muslim (2999) dari Shuhaib; dinukil dari muslim.or.id]

Oleh karenanya Rasuulullaah saw bersabda: “Tidaklah suatu musibah menimpa seorang MUSLIM kecuali Allah akan hapuskan (dosanya) karena musibahnya tersebut, sampai pun duri yang menusuknya.” (HR. Al-Bukhariy no.5640 dan Muslim no.2572 dari ‘Aa-isyah)

Juga sabda beliau saw :“Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan/kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan ataupun gundah gulana sampai pun duri yang menusuknya kecuali Allah akan hapuskan dengannya kesalahan-kesalahannya.” (HR. Al-Bukhariy no.5641, 5642 dari Abu Sa’id Al-Khudriy dan Abu Hurairah)

Adapun mereka, MESKIPUN MUSLIM, menghadapi musibah dengan:KELUH KESAH, TIDAK SABAR, APALAGI RATAPAN, apalagi MARAH terhadap apa yang menimpanya.. Maka mereka ini LALAI dan TIDAK MENDAPATKAN keutamaan diatas... Bahkan mereka, apabila marah dan tidak ridha dengan apa yang menimpa mereka, maka baginya kemurkaan Allah!!

Rasuulullaah saw bersabda: “Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya ujian, dan sesungguhnya Allah Ta’ala apabila mencintai suatu kaum maka Allah akan menguji mereka (dengan suatu musibah), maka barangsiapa yang ridha maka baginya keridhaan (dari Allah) dan barangsiapa yang marah maka baginya kemarahan (Allah).” (HR. At-Tirmidziy no.2396 dari Anas bin Malik, lihat Silsilah Ash-Shahiihah no.146)

Na'uudzubillaah..
Maka janganlah mereka yang sering berkeluhkesah, tidak sabaran, apalagi marah terhadap musibah yang menimpanya... BERANGAN-ANGAN ermasuk orang-orang yang disebutkan diatas...

Karena yang termasuk dalam hadits diatas hanyalah mereka yang memiliki sifat seorang MUSLIM/MUKMIN ketika menghadapi musibah..

Semoga bermanfaat
Semoga ALLAH TA'ALA mudahkan segala urusan kita.
Ααmïïïπ ..Ααmïïïπ... Ƴαα..ŔÕϐϐAL Alamiiπ ⌣•̸.

~Hj. WHW Ksp~


MUSIBAH*
Tidak ada seorang muslimpun yang tertusuk duri atau tertimpa bencana yang lebih besar dari itu kecuali akan tercatat baginya dengan bencana itu satu peningkatan derajat serta akan dihapuskan dari dirinya satu dosa kesalahan. (Shahih Muslim No.4664)
Janganlah kamu sekalian terlalu bersedih dan tetaplah berbuat kebaikan karena dalam setiap musibah yang menimpa seorang muslim terdapat penghapusan dosa bahkan dalam bencana kecil yang menimpanya atau karena sebuah duri yang menusuknya. (Shahih MuslimNo.4671)
Seorang Muslim yang tertimpa penderitaan, kegundahan, kesedihan, kesakitan, gangguan, dan kerisauan, bahkan hanya terkena duri sekalipun, semuanya itu merupakan kafarat (penebus) dari dosa-dosanya (H.R. Bukhari &Muslim)

Rasulullah saw bersabda, ”Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kekhawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.”(HR. Bukhorino. 5642, Muslim no. 2573)
Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dandi akhirat. Barang siapa yang menutup aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat”.(HR.Muslim No 2699)

SOLUSI DARI BERBAGAI MUSIBAH YANG DIHADAPI UMAT ISLAM

Sungguh musibah silih berganti menimpa kaum muslimin. Realita ini mengharuskan kita semua untuk berpikir keras mencari solusi permasalahan. Banyak analisis yang diberikan beberapa pihak untuk mengidentifikasi problem yang sebenarnya dihadapi oleh kaum muslimin. Jika identifikasi yang diajukan tidak tepat, tentu solusi yang ditawarkan juga tidak pas.

Berbagai Solusi yang Ditawarkan Berbagai Pihak
Ada yang mengatakan bahwa problema umat Islam yang paling mendasar adalah  
> konspirasi musuh-musuh Islam yaitu orang-orang kafir dan kemenangan orang kafir atas kaum muslimin. Pihak pertama ini menawarkan solusi berupa menyibukan kaum muslimin dengan strategi-strategi orang-orang kafir, perkataan dan penegasan mereka.
Ada juga yang mengatakan bahwa permasalahan kaum muslimin yang paling pokok adalah  
> berkuasanya para pemimpin yang zalim di berbagai negeri kaum muslimin.
Sehingga pihak kedua ini menawarkan solusi berupa upaya menggulingkan pemerintahan yang ada dan menyibukkan kaum muslimin dengan hal ini.
Di sisi lain ada juga yang berpendapat bahwa masalah kita yang paling pokok adalah  
- perpecahan kaum muslimin. Oleh karenanya solusi tepat adalah menyatukan kaum muslimin sehingga kaum muslimin unggul dalam kuantitas.Ada juga analisis keempat. Analisis ini mengatakan bahwa penyakit akut umat ini adalah - meninggalkan jihad sehingga obat penyakit ini adalah mengibarkan bendera jihad dan menabuh genderang perang melawan orang-orang kafir.Ada juga analisis yang lainnya bahwa problema umat Islam ini adalah  
> karena masih banyaknya kaum muslimin yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga mereka menawarkan solusi untuk memperbaiki ekonomi kaum muslimin.Ada juga yang mengatakan bahwa problema umat Islam adalah karena  
> belum adanya khilafah islamiyah. Sehingga solusi yang tepat menurut mereka adalah dengan menegakkan khilafah Islamiyah.
Marilah kita telaah bersama pendapat-pendapat di atas dengan dua panduan kita yaitu Al Qur’an dan Sunnah.

Problema: Konspirasi Orang Kafir
Terkait dengan pendapat pertama, kita jumpai firman Allah, “Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu” (QS Ali Imran: 120).
Ayat di atas dengan tegas menunjukkan bahwa jika kita benar-benar bertakwa kepada Allah maka konspirasi musuh bukanlah ancaman yang berarti.

Problema: Penguasa yang Zalim
Tentang pendapat kedua, kita jumpai firman Allah,“Dan demikianlah, kami jadikan orang yang zalim sebagai pemimpin bagi orang zalim disebabkan maksiat yang mereka lakukan” (QS Al An’am: 129).
Ayat ini menunjukkan bahwa penguasa yang zalim hukuman yang Allah timpakan kepada rakyat yang juga zalim disebabkan dosa-dosa rakyat. Jika demikian, penguasa yang zalim bukanlah penyakit bahkan penyakit sebenarnya adalah keadaan rakyat.

Problema: Perpecahan Kaum Muslimin
Sedangkan untuk pendapat ketiga kita dapati firman Allah, “Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun” (QS At Taubah:25).

Ayat ini menunjukkan bahwa persatuan dan jumlah yang banyak tidaklah bermanfaat jika kemaksiatan tersebar di tengah-tengah mereka. Kita lihat dosa ujub telah menghancurkan faedah dari jumlah yang banyak sehingga para shahabat menuai kekalahan pada saat perang Hunain.
Di antara maksiat adalah menyatukan barisan bersama orang-orang yang membenci ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sikap tepat terhadap mereka adalah memberikan nasihat, bukan mendiamkan kesalahan. Sikap minimal adalah mengingkari dengan hati dalam bentuk tidak menghadiri acara-acara yang menyimpang dari sunnah bukan malah menikmati.

Problema: Meninggalkan Jihad
Untuk pendapat keempat kita katakan bahwa jihad itu bukanlah tujuan namun yang menjadi tujuan adalah menegakkan agama Allah di muka bumi. Oleh karena itu, ketika kaum muslimin lemah dari sisi agama dan persenjataan maka menabuh genderang perang pada saat itu lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya. Oleh karena itu, Allah tidak mewajibkan jihad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau masih berada di Mekah dikarenakan berperang ketika itu lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya.

Problema: Kemiskinan
Jika kita melihat pendapat yang lainnya yang mengatakan bahwa solusi problematika umat adalah kemiskinan, maka ini juga bisa disanggah dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Nabi saw bersabda, “Demi Allah, sebenarnya bukanlah kemiskinan yang aku takutkan akan membahayakan kalian. Akan tetapi, yang kutakutkan adalah apabila dunia telah dibentangkan pada kalian, sebagaimana telah dibentangkan pula bagi orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun akhirnya berlomba-lomba untuk meraih dunia sebagaimana orang-orang terdahulu berlomba untuk mendapatkannya. Akhirnya kalian pun akan binasa, sebagaimana mereka binasa. ” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa kemiskinan bukanlah perkara yang ditakutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, yang membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam takut adalah apabila manusia sudah terpesona dengan dunia dan akibatnya mereka melanggar batasan-batasan Allah dan terjerumus dalam kubangan maksiat.

Solusi yang Tepat:
Membersihkan Diri dari Dosa Terutama Kesyirikan dan Kembali Mentauhidkan-Nya
Oleh karena itu, identifikasi yang tepat untuk penyakit yang membinasakan umat dan menjadikan kaum muslimin terbelakang adalah dosa-dosa kita sendiri. Banyak dalil dari al Qur’an yang menunjukkan hal ini. Di antaranya adalah firman Allah, “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS Ali Imran:165).
Allah Ta’ala juga berfirman,“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)
Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan,
“Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Ibnu Rojab Al Hambali –rahimahullah- mengatakan,
“Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa karena semua musibah, itu semua disebabkan karena dosa.” (Latho’if Ma’arif, hal. 75)

Oleh sebab itu, obat yang mujarab adalah membersihkan diri kita dan seluruh umat dari dosa. Sedangkan dosa yang paling berbahaya adalah syirik dan bid’ah.

Allah Ta’ala menjelaskan bahwa dosa syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni jika pelakunya masih belum bertaubat ketika kematian menjemputnya. Inilah yang menunjukkan bahaya kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman,“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa di bawah kesyirikan, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48)

Begitu juga bid’ah (melakukan amalan yang tidak ada landasannya dari Nabi) adalah dosa yang berbahaya karena sebab bid’ah, amalan seorang muslim menjadi tertolak dan sia-sia belaka. Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim) Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan, “Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)

Demikian pula kita berusaha dengan penuh kesungguhan untuk mengembalikan umat kepada panduan hidup mereka yaitu Al Qur’an dan sunnah Rasul sebagaimana pemahaman salaf. Kita habiskan umur dan harta kita untuk menegakan bendera tauhid dan sunnah dan menghancurkan bendera syirik dan bid’ah dengan berbagai sarana dan media yang kita miliki.
Jika bendera tauhid dan sunnah telah tegak berkibar dan bendera syirik dan bid’ah hancur maka saat itu kita berhak mendapatkan janji Allah yaitu kemenangan.

SumberFaedah dari Guru Kami Ustadz Aris Munandar, SS 
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal


Beberapa Prinsip Pegangan Dalam Menyikapi Sakit dan Musibah

"BERSABAR PADA COBAAN DIDUNIA UNTUK MENDAPATKAN KEBAHAGIAAN ABADI DIAKHIRAT"
Nabi SAW bersabda,“Jika Allah menghendaki kebaikan untuk seorang hamba-Nya maka Allah akan menyegerakan hukuman untuknya didunia. Sebaliknya jika Allah menghendaki keburukan untuk seorang hamba maka Allah akan biarkan orang tersebut dengan dosa2nya sehingga Allah akan memberikan balasan untuk dosa tersebut pada hari Kiamat nanti” (HR Tirmidzi, hasan)
Dalam menyikapi sakit dan musibah tersebut, berikut ini ada beberapa prinsip yang harus menjadi pegangan seorang muslim :

1. Sakit dan Musibah adalah Takdir Allah Azza wa Jalla
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).
Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang melainkan dengan izin Allah” (QS. At-Taghaabun : 11).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no. 2653).

2. Sakit dan Musibah Adalah Penghapus Dosa
Ini adalah hikmah terpenting sebab diturunkannya sakit dan musibah. Dan hikmah ini sayangnya tidak banyak diketahui oleh saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Acapkali kita mendengar manusia ketika ditimpa sakit dan musibah malah mencaci maki, berkeluh kesah, bahkan yang lebih parah meratapi nasib dan berburuk sangka dengan takdir Allah. Nauzubillah, kita berlindung kepada Allah dari perbuatan semacam itu. Padahal apabila mereka mengetahui hikmah dibalik semua itu, maka -insya Allah- sakit dan musibah terasa ringan disebabkan banyaknya rahmat dan kasih sayang dari Allah Ta’ala.

Hikmah dibalik sakit dan musibah diterangkan Rasulullah saw, dimana beliau bersabda:“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya”.(HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571).

Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari no. 5641).

Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya”. (HR. Muslim no. 2573).

Bencana senantiasa menimpa orang mukmin dan mukminah pada dirinya, anaknya dan hartanya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada kesalahan pada dirinya”. (HR. Tirmidzi no. 2399, Ahmad II/450, Al-Hakim I/346 dan IV/314, Ibnu Hibban no. 697, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Mawaaridizh Zham-aan no. 576).

Sesungguhnya Allah benar-benar akan menguji hamba-Nya dengan penyakit, sehingga ia menghapuskan setiap dosa darinya”. (HR. Al-Hakim I/348, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Shohih Jami’is Shoghirno.1870).

Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya”. (HR. Muslim no. 2572).

Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api neraka”. (HR. Al-Bazzar, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Silsilah al Hadiits ash Shohihah no. 1821).

Janganlah kamu mencaci-maki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan menghapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi”. (HR. Muslim no. 2575).

Walaupun demikian, apabila seorang mukmin ditimpa suatu penyakit tidaklah meniadakan usaha (ikhtiar) untuk berobat. Rasulullah saw bersabda : “Allah tidak menurunkan penyakit melainkan pasti menurunkan obatnya". (HR. Bukhari no. 5678).

Dan yang perlu diperhatikan dalam berobat ini adalah menghindarkan dari cara-cara yang dilarang agama seperti mendatangi dukun, paranormal, ‘orang pintar’, dan sebangsanya yang acapkali dikemas dengan label ‘pengobatan alternatif’. Selain itu dalam berobat juga tidak diperbolehkan memakai benda-benda yang haram seperti darah, khamr, bangkai dan sebagainya karena telah ada larangannya dari Rasulullah saw bersabda :
Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram”. (HR. Ad Daulabi dalam al-Kuna, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitab Silsilah al Hadiits ash- Shohihah no. 1633).

Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada apa-apa yang haram”.(HR. Abu Ya’la dan Ibnu Hibban no. 1397. Dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitabMawaaridizh Zham-aan no. 1172).

Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan penyakit kalian pada apa-apa yang diharamkan atas kalian”. (HR. Bukhari, di-maushulkan ath-Thabrani dalam Mu’jam al Kabiir, berkata Ibnu Hajar : ‘sanadnya shohih’, Fathul Baari : X/78-79).

3. Wajib Bersabar dan Ridho Apabila Ditimpa Sakit dan Musibah
Apabila sakit dan musibah telah menimpa, maka seorang mukmin haruslah sabar dan ridho terhadap takdir Allah Azza wa Jalla, dan harapkanlah pahala serta dihapuskannya dosa-dosanya sebagai ganjaran dari musibah yang menimpanya. Allah swt berfirman :“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ”. (QS. Al-Baqaroh : 155-157).

Dalam beberapa hadis Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman :“Wahai anak Adam, jika engkau sabar dan mencari keridhoan pada saat musibah yang pertama, maka Aku tidak meridhoi pahalamu melainkan surga”.
(HR. Ibnu Majah no.1597, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam Shohih Ibnu Majah : I/266).

Maksud hadis diatas yakni apabila seorang hamba ridho dengan musibah yang menimpanya maka Allah ridho memberikan pahala kepadanya dengan surga.
Jika anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah akan berkata kepada malaikat-Nya : ‘Apakah kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?. Para Malaikat menjawab : ‘Ya, benar’. Lalu Dia bertanya lagi : ‘Apakah kalian mengambil buah hatinya?’. Malaikat menjawab : ‘Ya’. Kemudian Dia berkata : ‘Apa yang dikatakan oleh hamba-Ku itu?’. Malaikat menjawab ‘Ia memanjatkan pujian kepada-Mu dan mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’un). Allah Azza wa Jalla berfirman : ‘Bangunkan untuk hamba-Ku sebuah rumah di surga dan namai dengan (nama) Baitul Hamd (rumah pujian)’.” (HR Tirmidzi no.1021, dihasankan Syeikh Albani dalam  Shohih Sunan Tirmidzi no. 814)

Tidaklah ada suatu balasan (yang lebih pantas) di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman jika Aku telah mencabut nyawa kesayangannya dari penduduk dunia kemudian ia bersabar atas kehilangan orang kesayangannya itu melainkan surga”. (HR. Bukhari).

Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman : ‘Jika Aku menguji hamba-Ku dengan dua hal yang dicintainya (yakni menjadikan seorang hamba kehilangan dua penglihatannya/buta) lalu ia bersabar maka Aku akan menggantikan keduanya dengan surga”. (HR. Bukhari).

Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung besarnya ujian. Dan sesungguhnya jika Allah menyukai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho maka baginya keridhoan, dan barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan”. (HR. Tirmidzi no. 2396, Ibnu Majah no. 4031, dihasankan Syeikh Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi II/286).

Hikmah lainnya dari sakit dan musibah adalah menyadarkan seorang hamba yang tadinya lalai dan jauh dari mengingat Allah -karena tertipu oleh kesehatan badan dan sibuk mengurus harta- untuk kembali mengingat Robb-nya. Karena jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah barulah ia merasakan kehinaan, kelemahan, teringat akan dosa-dosa, dan ketidakmampuannya di hadapan Allah Ta’ala, sehingga ia kembali kepada Allah dengan penyesalan, kepasrahan, memohon ampunan dan berdoa kepada-Nya.

Allah swt berfirman : “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri”. (QS. Al-An’aam : 42).

Sakit dan musibah merupakan pintu yang akan membukakan kesadaran seorang hamba bahwasanya ia sangat membutuhkan Allah Azza wa Jalla. Tidak sesaatpun melainkan ia butuh kepada-Nya, sehingga ia akan selalu tergantung kepada Robb-nya. Dan pada akhirnya ia akan senantiasa mengikhlaskan dan menyerahkan segala bentuk ibadah, doa, hidup dan matinya, hanyalah kepada Allah swt semata.
Setiap kali Allah menurunkan penyakit, pasti Allah menurunkan (pula) obatnya.”(HR. Bukhari-Muslim)


Ustadz Yusuf Mansyur

Saat Ujian Datang Menguji
Segala sesuatu yang menimpa kita sebagai manusia, entah itu berupa kebaikan maupun kejelekan, dan yang lainnya, merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan dan ditetapkan oleh Allah SWT. Sebagaimana telah disebutkan dalam firman-Nya: " Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. al-Hadid: 22).

Takdir ini telah Allah tentukan 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, " Allah telah menulis takdir-takdir seluruh makhluk (pada kitab lauh mahfudz) 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi." (HR. al-Imam Muslim dari sahabat Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash)

Seorang hamba meski memiliki kedudukan yang tinggi, kekuatan yang mumpuni, serta kekuasaan yang luas, tetaplah dikatakan faqir, lemah, dan dalam keadaan amat sangat membutuhkan, tidak mempunyai kemampuan dengan sendirinya untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak segala macam kemudharatan.

Di dalam menghadapi musibah ini, manusia terbagi menjadi empat tingkatan:

Pertama: marah, yaitu ketika menghadapi musibah dia marah baik dengan hatinya seperti benci terhadap Rabbnya dan marah terhadap takdir Allah atasnya, dan kadang-kadang sampai kepada tingkat kekufuran, Allah berfirman, " Dan diantara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Al-Hajj: 11)

Atau dia marah dengan lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan dan kebinasaan dan yang sejenisnya. Atau marah dengan anggota badannya seperti menampar pipi, merobek saku baju, menjambak rambut, membenturkan kepala ke tembok dan sejenisnya.

Kedua: sabar, maka orang yang sabar itu akan melihat bahwasanya musibah ini berat baginya dan dia tidak menyukainya, akan tetapi dia membawanya kepada kesabaran, dan tidaklah sama di sisinya antara adanya musibah dengan tidak adanya, bahkan dia tidak menyukai musibah ini akan tetapi keimanannya melindunginya dari marah.

Ketiga: ridha, dan ini lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu dua perkara tadi (ada dan tidak adanya musibah) di sisinya adalah sama ketiba dinisbahkan / disandarkan terhadap qadha dan qadar (taqdir / ketentuan Allah) walaupun bisa jadi dia bersedih karena musibah tersebut. Jika diberi kenikmatan atau ditimpa musibah, maka semuanya menurut dia adalah sama. Bukan karena hatinya mati, bahkan karena sempurnanya ridhanya kepada Rabbnya, dia bergerak sesuai dengan kehendak Rabbnya. Bagi orang yang ridha, adanya musibah ataupun tidak adalah sama, karena dia melihat bahwasanya musibah tersebut adalah ketentuan Rabbnya. Inilah perbedaan antara ridha dan sabar.

Keempat: bersyukur, dan ini adalah derajat yang paling tinggi, yaitu bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpa. Sehingga mereka termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang bersyukur ketika dia melihat bahwa di sana terdapat musibah yang lebih besar darinya, dan bahwasanya musibah-musibah dunia lebih ringan daripada musibah-musibah agama, dan bahwasanya 'adzab dunia lebih ringan daripada 'adzab akhirat, dan bahwasanya musibah ini adalah sebab agar dihapuskannya dosa-dosanya, dan kadang-kadang untuk menambah kebaikannya, maka dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut. Nabi SAW bersabda, " Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan / kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan ataupun gundah gulana sampai pun duri yang menusuknya kecuali Allah akan hapuskan dengan kesalahan-kesalahannya." (HR. Al-Bukhariy No. 5641, 5642 dari Abu Sa'id Al-Khudriy dan Abu Hurairah).

Bahkan kadang-kadang akan bertambahlah iman seseorang dengan musibah tersebut. Saat musibah datang menguji, Rasulullah mengajarkan, " Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah (yaitu): 'Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, wahai Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya; kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya." (HR. Muslim No. 918).

Ummu Salamah berkata: "Tatkala Abu Salamah meninggal, aku mengucapkan istirja' dan mengatakan: 'Ya Allah, berilah saya pahala pada musibah yang menimpa saya dan berilah ganti bagi saya yang lebih baik darinya.' Kemudian aku berpikir kiranya siapa orang yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah? Maka tatkala telah selesai masa 'iddah-ku, Rasulullah SAW (datang) meminta izin untuk masuk (rumahku) dimana waktu itu aku sedang menyamak kulit. Lalu Rasulullah SAW melamarku. Tatkala Nabi SAW sudah selesai dari pembicaraannya, aku berkata: ' Wahai Rasulullah, sebenarnya saya mau dilamar tapi saya seorang wanita yang sangat pencemburu. Saya khawatir, Anda akan melihat dari saya sesuatu yang nantinya Allah akan mengazab saya karenanya. Saya juga orang yang sudah berumur dan banyak anak.' Nabi SAW bersabda: ' Adapun apa yang engkau sebutkan tentang sifat cemburu, niscaya Allah akan menghilangkannya. Dan apa yang engkau sebutkan tentang umur maka aku juga sama (sudah berumur). Dan yang engkau sebutkan tentang banyaknya anak, maka anakmu adalah tanggunganku.' Aku berkata: ' Aku menyerahkan diriku kepada Rasulullah.' Lalu beliau menikahiku. Ummu Salamah berkata setelah itu, " Allah telah menggantikan untukku yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah SAW." (HR. Ahmad). Ini merupakan bukti dari firman Allah: " Dan berilah berita gembira bagi orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah: 155).

Disadur dari : Majalah Swara Quran Hal. 9 Edisi No. 4-5 Th.9 Ramdhan - Syawwal / September - Oktober 2009

Bagaimana Manusia Menghadapi Musibah?*
Di dalam menghadapi musibah, manusia terbagi menjadi empat tingkatan:
1. Marah, yaitu ketika menghadapi musibah dia marah baik dengan hatinya seperti benci terhadap Rabbnya dan marah terhadap taqdir Allah atasnya, dan kadang-kadang sampai kepada tingkat kekufuran, Allah berfirman: "Dan diantara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada ditepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia didunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (QS Al-Hajj:11)

Atau dia marah dengan lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan dan kebinasaan dan yang sejenisnya. Atau marah dengan anggota badannya seperti menampar pipi, merobek saku baju, menarik-narik (menjambak) rambut, membenturkan kepala ke tembok dan yang sejenisnya.

2. Ssabar, yaitu sebagaimana ucapan penyair: "Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya, akan tetapi akibatnya lebih manis dari madu." Maka orang yang sabar itu akan melihat bahwasanya musibah ini berat baginya dan dia tidak menyukainya, akan tetapi dia membawanya kepada kesabaran, dan tidaklah sama di sisinya antara adanya musibah dengan tidak adanya, bahkan dia tidak menyukai musibah ini akan tetapi keimanannya melindunginya dari marah.

3. Ridha, dan ini lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu dua perkara tadi (ada dan tidak adanya musibah) di sisinya adalah sama ketika dinisbahkan/ disandarkan terhadap qadha dan qadar (taqdir/ketentuan Allah) walaupun bisa jadi dia bersedih karena musibah tersebut, Karena sesungguhnya dia adalah seseorang yang sedang berenang dalam qadha dan qadar, kemana saja qadha dan qadar singgah maka dia pun singgah bersamanya, baik diatas kemudahan ataupun kesulitan. 

Jika diberi kenikmatan atau ditimpa musibah, maka semuanya menurut dia adalah sama. Bukan karena hatinya mati, bahkan karena sempurnanya ridhanya kepada Rabbnya, dia bergerak sesuai dengan kehendak Rabbnya.
Bagi orang yang ridha, adanya musibah ataupun tidak, adalah sama, karena dia melihat bahwasanya musibah tersebut adalah ketentuan Rabbnya. Inilah perbedaan antara ridha dan sabar.

4. Bersyukur, dan ini adalah derajat yang palingt inggi, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya dan jadilah dia termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang bersyukur ketika dia melihat bahwa di sana terdapat musibah yang lebih besar darinya, dan bahwasanya musibah-musibah dunia lebih ringan daripada musibah-musibah agama, dan bahwasanya 'adzab dunia lebih ringan daripada 'adzab akhirat, dan bahwasanya musibah ini adalah sebab agar dihapuskannya dosa-dosanya, dan kadang-kadang untuk menambah kebaikannya, maka dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut.

Nabi saw bersabda:"Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan (dosanya) karena musibahnya tersebut, sampaipun duri yang menusuknya." (HR. Al-Bukhariy no.5640 dan Muslim no.2572dari 'A`isyah) 

"Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan/kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan ataupun gundah gulana sampai pun duri yang menusuknya kecuali Allah akan hapuskan dengannya kesalahan-kesalahannya.”(HR. Al-Bukhariy no.5641, 5642 dari Abu Sa’id Al-Khudriy dan Abu Hurairah)


MUSIBAH ITU INDAH

Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama dengan kesabaran, keleluasaan itu bersama dengan adanya kegelisahan, sedangkan kemudahan itu bersama dengan kesulitan. (HR Tirmidzi)
Musibah adalah hilangnya sesuatu yang kita sayangi, seperti kekayaan, rumah tinggal, kendaraan, atau pekerjaan. Bisa juga berupa hilangnya orang yang dicintai, seperti kematian ayah, ibu, atau anak. Bisa juga berupa hilangnya kesehatan, jabatan, kehormatan, dan harga diri.

Sebagaimana sifatnya dunia, semua yang ada di atas bumi adalah fana. Hanya sementara! Tak ada yang abadi. Orang-orang yang kita cintai suatu saat pasti akan mati meninggalkan kita, atau justru sebaliknya, kita yang meninggalkan mereka terlebih dahulu. Ini adalah musibah yang tidak bisa dihindari.
Kehilangan pekerjaan, jabatan, atau harta benda, bisa menimpa siapa saja dan terjadi kapan saja. Tidak seorangpun yang hidup di dunia ini bisa menghindarinya. Kalau hari ini selamat dari musibah, mungkin besok atau lusa tidak. Kalau hari ini yang tertimpa musibah adalah teman kita, mungkin besok atau lusa adalah giliran kita.

Ulah Manusia Sendiri 
Jika mau dievalusi secara jujur, tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya musibah datang karena kesalahan kita sendiri. Kesalahan berupa tidak mengindahkan aturan dan hukum-hukum Allah SWT, baik yang bersifat alamiah dan sosial (kauniyah) maupun hukum al-Qur`an (qauliyah). 
Firman Allah SWT:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS Ar-Rum 30: 41)

Namun, ketika musibah itu terjadi sesungguhnya ada hakikat yang seringkali tidak dilalaikan manusia, yakni:
1. Musibah Merupakan Ujian dari Allah SWT
Kehidupan ini sesungguhnya merupakan proses ujian bagi manusia, untuk membuktikan siapa yang beriman kepada Allah SWT dan siapa yang mendustakan-Nya. Firman Allah SWT:“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS Al-Ankabut 29: 3)

2. Musibah Merupakan Azab dari Allah SWT
Boleh jadi musibah juga merupakan azab yang diberikan kepada manusia sebagai akibat dari kedurhakaan, kemaksiatan, serta dosa-dosa yang diperbuat. Sehingga ia berfungsi sebagai teguran untuk menyadarkan dan memperbaiki langkah kehidupan manusia sendiri agar kembali ke jalan yang benar.

“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS As-Sajdah 32: 21)

Jangan Ditolak 
Kita tidak bisa menolak musibah, sebab ia bersifat alamiah. Kehancuran, kemusnahan, dan kefanaan adalah sifat dasar alam dunia, sedang kita hidup di dalamnya. Itulah sebabnya Rasulullah saw pernah berwasiat, ”Isy maa syi’ta fa innaka mayyitun, wa ahbib man ahbabta fa innaka mufaraqatun (hiduplah sesuakamu, tapi ingatlah bahwa kalian akan mati, dan cintailah orang yang kamu cintai, tapi ketahuilah bahwa nanti kalian akan berpisah).”

Terhadap musibah, kita tidak bisa menghindar. Yang penting bagi kita adalah, bagaimana menyikapinya. Dua orang yang menghadapi musibah yang sama, tapi reaksinya bisa berlainan. Yang satu bersabar dan ikhlas menerimanya, sedang yang kedua menerimanya dengan penuh penderitaan. Di sini, kita harus bisa membedakan antara musibah dengan derita.

Musibah adalah realitas obyektif, di luar diri kita. Sedangkan derita adalah realitas subyektif, pictures in our head (gambaran di dalam pikiran kita). Musibah adalah sesuatu yang terjadi di luar kendali kita, sedangkan derita terletak pada pilihan kita sendiri.

Dengan demikian, menjadi tidak aneh jika ada orang yang menderita luar biasa setelah mendapatkan musibah, walau tak seberapa. Akan tetapi ada orang yang biasa saja, bahkan menjadi bahagia meskipun tertimpa musibah yang berat. Kesimpulannya, cara menyikapi musibah itulah yang menjadikan orang tetap bahagia atau menderita. Cara menyikapi itulah yang menjadi pilihan kita.

Rahmah di Balik Musibah 
Seorang Muslim tidak boleh tenggelam dalam kesedihan yang berlama-lama. Boleh bersedih hati tapi tidak boleh menderita. Orang yang menderita berarti mendapat kerugian dua kali. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga lagi.
Bagi orang yang beriman, musibah adalah ujian. Bagi yang telah mempersiapkan diri baik-baik, maka musibah itu akan dihadapi dengan tenang. Akibat ketenangannya, ia bisa lulus ujian, lalu naik kelas atau naik tingkat, dan naik pula derajatnya. Di sisi manusia dia menjadi lebih mulia, sedang di sisi Allah SWT akan mendapatkan pahala.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak siap menghadapi ujian akan bersikap menentang. Jangankan lulus ujian, mereka bahkan akan dihadapkan pada sanksi dan hukuman. Di mata manusia, mereka menjadi hina. Di mata Allah SWT, orang yang demikian pantas mendapatkan siksa.

Allah Maha Adil, di balik setiap musibah ada hikmah bagi orang-orang yang meyakininya. Rasulullah SAW bersabda:"Seorang Muslim yang tertimpa suatu kesakitan, baik itu tertusuk duri atau lebih dari itu, niscaya Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya dan menghapuskan dosa-dosanya, sebagaimana daun-daun berguguran dari pohonnya". (HR Bukhari dan Muslim)

Orang-orang yang cerdas akan mengubah musibah menjadi rahmat, sedang orang yang bodoh mengubah musibah menjadi dua kali bencana. Rasulullah SAW dapat berkuasa, memimpin, dan membangun Madinah setelah diusir oleh kaumnya dari tanah kelahirannya, Makkah. 

Imam Ahmad bin Hambal menjadi imam dan pemimpin ahlus-sunnah setelah dipenjara dan didera hukuman oleh penguasa pada zamannya. Demikian juga Ibnu Taimiyah, ia menjadi ilmuwan agung, menulis kitab fatawa berjilid-jilid, setelah dipenjara.

Begitu pula Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS) mendapat gelar khalilullah (kekasih Allah) setelah dibakar hidup-hidup oleh Namrudz. Nabi Nuh AS dapat memimpin bangsanya setelah tanah airnya ditenggelamkan bersama isteri dan anaknya. Demikian juga Nabi Yusuf AS, Nabi Ayyub AS, dan nabi-nabi lainnya.

Ketahuilah, Allah SWT tidak akan pernah mengambil dari diri kita kecuali Dia telah menyiapkan penggantinya yang lebih baik bagi kita, asal kita bersabar, ikhlas, dan tawakal menerimanya. Firman Allah SWT:"Mereka itulah yang akan mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS Al-Baqarah 2: 157)

Inilah kabar gembira dari Allah untuk orang-orang yang tertimpa musibah.
"Jangan takut, jangan sedih,jangan putus asa.Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir". (QS Yusuf 12: 87)

Ibrahim berkata: Tiada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, melainkan orang-orang yang sesat. (QS Al-Hijr 15: 56)

Harga sukses itu mahal. Lihatlah, perhatikanlah, dan telusuri riwayat hidup orang-orang sukses. Mereka semua adalah orang-orang yang lulus menghadapi musibah. Semakin besar musibah yang ditimpakan kepadanya, semakin besar pula nilai kesuksesannya.

Subhanallah,...
orang yang beriman akan tersenyum manakala mendapatkan musibah. Mereka tidak marah dan tidak bosan menghadapinya, sebab mereka yakin bahwa di balik kesulitan yang dihadapinya saat ini pasti ada kebaikannya.

Itulah yang dialami Nabi Yusuf AS, seperti dipaparkan dalam Surah Yusuf, ia mengalami musibah demi musibah. Ketika masih remaja, oleh kakak-kakaknya dimasukkan dalam sumur hampir meninggal dunia. Ketika mulia meniti karir dijebloskan dalam penjara. Tapi justru karena kesabaran dan keikhlasannya, Nabi Yusuf AS akhirnya hidup di istana dengan jabatan yang luar biasa.

Melihat semua fakta nyata di atas, lalu apa yang menghalangi kita untuk tetap tersenyum ketika menghadapi musibah? Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh Hamim Thohari

HIKMAH DI BALIK MUSIBAH*

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah atas nabi Muhammad, keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Musibah Pada dasarnya merupakan sesuatu yang begitu akrab dengan kehidupan kita. Adakah orang yang tidak pernah mendapatkan musibah? Tentu tak ada.

Musibah adalah salah satu bentuk ujian yang diberikan Allah kepada manusia. la adalah sunnatullah yang berlaku atas para hamba-Nya. la bukan berlaku pada orang-orang yang lalai dan jauh dari nilai-nilai agama saja. Namun ia juga menimpa orang-orang mukmin dan orang-orang yang bertakwa. Bahkan, semakin tinggi kedudukan seorang hamba di sisi Allah, maka semakin berat ujian dan cobaan yang diberikan Allah kepadanya.Karena Dia akan menguji keimanan dan ketabahan hamba yang dicintai-Nya.

Sebagai contoh, bangsa kita tercinta sekarang ini sedang dirundung dan didera dengan berbagai musibah, mulai dari gelombang tsunami, lumpur lapindo, flu burung, busung lapar, gizi buruk, harga melonjak ditambah seabreg permasalahan nasional yang tak kunjung teratasi, akan tetapi sayangnya sedikit yang bisa mengambil hikmah dari musibah yang sedang kita derita.Ujian yang semestinya mendongkrak kualitas keimanan dan mengantar pada keberkahan temyata sering membawa kepada murka Allah. Tak lain karena orang yang terkena, musibah tak mampu bersikap benar saat menghadapinya.

Sesungguhnya di balik musibah itu terdapat hikmah dan pelajaran yang banyak bagi mereka yang bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah yang telah mentakdirkan itu semua untuk hamba-Nya, diantara hikmah yang bisa kita petik antara lain adalah:

1. Musibah akan mendidik jiwa dan menyucikannya dari dosa dan kemaksiatan.
Allah Ta'ala berfirman: “Apa saja musibah yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS asy Syura: 30)

Dalam ayat ini terdapat kabar gembira sekaligus ancaman jika kita mengetahui bahwa musibah yang kita alami adalah merupakan hukuman atas dosa-dosa kita.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Nab SAW bersabda:”Tidak adapenyakit,kesedihan dan bahaya yang menimpa seorangmukmin hinggga duri yang menusuknya melainkan Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya dengan semua itu”.(HR. Bukhari)

Dalam hadits lain beliau bersabda:“Cobaan senantiasa akan menimpa seorang mukmin, keluarga, harta dan anaknya hingga dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.”

Sebagian ulama salaf berkata, “Kalau bukan karena musibah-musibah yang kita alami di dunia, niscaya kita akan datang di hari kiamat dalam keadaan pailit.”

2. Mendapatkan kebahagiaan (pahala) tak terhingga di akhirat.
Itu merupakan balasan dari musibah yang diderita oleh seorang hamba sewaktu di dunia, sebab kegetiran hidup yang dirasakan seorang hamba ketika di dunia akan berubah menjadi kenikmatan di akhirat dan sebaliknya. Nabi saw bersabda, ”Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.”Dan dalam hadits lain disebutkan, ”Kematian adalah hiburan bagi orang beriman.” (HR .Ibnu Abi ad Dunya dengan sanad hasan).

3. Sebagai parameter kesabaran seorang hamba.
Sebagaimana dituturkan, bahwa seandainya tidak ada ujian maka tidak akan tampak keutamaan sabar. Apabila ada kesabaran maka akan muncul segala macam kebaikan yang menyertainya, namun jika tidak ada kesabaran maka akan lenyap pula kebaikan itu.

Anas ra  meriwayatkan sebuah hadits secara marfu’, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya cobaan. Jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan mengujinya dengan cobaan. Barang siapa yang ridha atas cobaan tersebut maka dia mendapat keridhaan Allah dan barang siapa yang berkeluh kesah (marah) maka ia akan mendapat murka Allah.”

Apabila seorang hamba bersabar dan imannya tetap tegar maka akan ditulis namanya dalam daftar orang-orang yang sabar. Apabila kesabaran itu memunculkan sikap ridha maka ia akan ditulis dalam daftar orang-orang yang ridha. Dan jikalau memunculkan pujian dan syukur kepada Allah maka dia akan ditulis namanya bersama-sama orang yang bersyukur. Jika Allah mengaruniai sikap sabar dan syukur kepada seorang hamba maka setiap ketetapan Allah yang berlaku padanya akan menjadi baik semuanya.

Rasulullah saw bersabda, “Sungguh menakjubkan kondisi seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Jika memperoleh kelapangan lalu ia bersyukur maka itu adalah baik baginya. Dan jika ditimpa kesempitan lalu ia bersabar maka itupun baik baginya (juga).

4- Dapat memurnikan tauhid dan menautkn hati kepada Allah.
Wahab bin Munabbih berkata, “Allah menurunkan cobaan supaya hamba memanjatkan do’a dengan sebab bala’ itu.” 
Allah berfirman: “Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo’a.” (QS Fushilat :51)

Musibah dapat menyebabkan seorang hamba berdoa dengan sungguh-sungguh, tawakkal dan ikhlas dalam memohon.
Dengan kembali kepada Allah (inabah) seorang hamba akan merasakan manisnya iman, yang lebih nikmat dari lenyapnya penyakit yang diderita. Apabila seseorang ditimpa musibah baik berupa kefakiran, penyakit dan lainnya maka hendaknya hanya berdo’a dan memohon pertolongan kepada Allah saja sebagiamana dilakukan oleh Nabi Ayyub as yang berdoa, “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya, ”(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. (QS. Al Anbiyaa :83)

5. Memunculkan berbagai macam ibadah yang menyertainya.
6. Dapat mengikis sikap sombong, ujub dan besar kepala.
Jika seorang hamba kondisinya serba baik dan tak pernah ditimpa musibah maka biasanya ia akan bertindak melampaui batas, lupa awal kejadiannya dan lupa tujuan akhir dari kehidupannya Akan tetapi ketika ia ditimpa sakit, mengeluarkan berbagai kotoran, bau tak sedap,dahak dan terpaksa harus lapar, kesakitan bahkan mati, maka ia tak mampu memberi manfaat dan menolak bahaya dari dirinya

Dia tak akan mampu menguasai kematian, terkadang ia ingin mengetahui sesuatu tetapi tak kuasa, ingin mengingat sesuatu namun tetap saja lupa. Tak ada yang dapat ia lakukan untuk dirinya, demikian pula orang lain tak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya. Maka apakah pantas baginya menyombongkan diri di hadapan Allah dan sesama manusia?

7. Memperkuat harapan (raja’) kepada Allah
8. Merupakan indikasi bahwa Allah menghendaki kebaikan
Dari Abu Hurairah secara marfu’ bahwa Rasulullah n bersabda, ”Barang siapa yang dikehen-daki oleh Allah kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR al Bukhari).
Seorang mukmin meskipun hidupnya sarat dengan ujian dan musibah namun hati dan jiwanya tetap sehat.

Ibnu muqlah


BERSYUKUR KARENA MUSIBAH

Beberapa dari saudaraku pasti akan mengerutkan dahinya ketika membaca topik ini. Bagaimana mungkin manusia dapat bersyukur karena musibah bencana yang ia hadapi ?..
Allah swt berfirman "Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata". (QS Al Hajj(22) : 11)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa, “Datangnya musibah-musibah adalah nikmat. Karena bencana menjadi sebab untuk dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran, sehingga orang yang tertimpa musibah dan tetap bersabar akan mendapatkan pahala”. Bukankah hal tersebut adalah nikmat yang paling agung ? Maka musibah bencana adalah rahmat Allah yang paling agung kepada mahluk-Nya, kecuali apabila orang yang tertimpa musibah tersebut justru terjerumus kepada kemaksiatan. Apabila hal tersebut terjadi kepadanya maka itu akan menjadi keburukan baginya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, bahwa ada empat tingkatan orang ketika menghadapi musibah:
1). MARAH
Tingkatan marah ini meliputi tiga keadaan:
1. Ia menyimpan perasaan marah di dalam hati kepada Allah. Sehingga dia pun marah kepada apa yang ditetapkan Allah kepada dirinya. Hal ini adalah haram bahkan bisa menjerumuskan kepada kekafiran.
2. Kemarahan diekspresikan dengan ucapan. Seperti mendoakan kecelakaan dan kebinasaan, atau ucapan semacamnya. Hal seperti ini juga haram hukumnya.
3. Kemarahannya sampai meluap-luap sehingga terekspresikan dengan tindakan anggota badan. Seperti menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian. Mencabuti rambut dan perbuatan semacamnya. Perbuatan ini haram hukumnya dan meniadakan sifat sabar yang wajib ada.

2). BERSABAR
Walaupun musibah yang ia terima teramat berat, namun orang tersebut masih bisa bersabar dan tabah dalam menanggungnya. Dia merasa tidak senang atas musibah yang terjadi terhadap dirinya. Tapi imannya masih dapat menjaganya untuk tidak marah. Terjadinya musibah tersebut dengan tidak terjadinya musibah masih terdapat perbedaan baginya. Ini adalah tingkatan yang wajib. Sebab Allah SWT telah memerintahkan untuk bersabar.

3). MERASA RIDHO
Perbedaan yang mendasar antara tingkatan ketiga ini dibanding tingkatan kedua adalah pada tingkatan ini, ada atau tidak adanya musibah betapapun beratnya bagi orang yang mengalaminya adalah sama saja. Orang tersebut ridho terhadap musibah yang menimpanya. Ia merasa yakin kepada Allah bahwa musibah yang diturunkan kepadanya adalah semata-mata untuk kebaikan dirinya. Sehingga ada atau tidak adanya musibah tidak ada bedanya bagi orang tersebut

4). BERSYUKUR
Ini adalah tingkatan tertinggi. Ia justru bersyukur kepada Allah atas terjadinya musibah yang menimpanya. Orang tersebut menyadari, seberapapun ringan atau beratnya musibah adalah faktor bagi terhapusnya dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Bahkan terkadang bisa menjadi sumber penambah amal kebaikan.

Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh dalam Syarah Arba’in An-Nawawi pun mengungkapkan hal yang sama. Beliau mengatakan bahwa ketika tertimpa musibah, di samping wajib untuk bersabar, juga disunahkan untuk ridho bahkan jika mampu, bersyukur.

by hamba Alloh

Ketika Musibah Menimpa
Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh,
1. Apabila ditimpa musibah hendaknya kita membaca ’innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun’ (“Sessungguhnya kita milik Allah dan kepadaNyalah kita akan dikembalikan”). Allah Ta’ala berfirman, “yaitu orang-orang yang jika ditimpa musibah mereka mengucapkan “innaalillaahi wa-innaa ilaihi raaji’un”. Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang hamba ditimpa musibah lalu beristirjaa’ niscaya Allah Ta’ala akan memberi ganjaran pada musibahnya dan akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya”. (HR.Muslim)

Ucapan istirjaa’ mengandung pengertian bahwa diri kita, keluarga dan harta benda adalah milik Allah Ta’ala. Ketika kita lahir, kita tidak memiliki apa-apa. Demikian pula sampai kita meninggal nanti kita tidak akan membawa apa-apa. Semua itu akan kita tinggalkan dan kita tidak akan membawa sesuatu, kecuali amal shalih kita. Karena itu, persiapan diri adalah mutlak untuk menghadapi hari tersebut.

2. Hendaknya kita yakin dengan takdir Allah Ta’ala baik dan buruknya. Ini penting, karena keyakinan dengan rukun iman yang keenam ini akan meringankan beban kita. Iman kepada takdir memberi kita semacam ‘kekebalan dini’ dengan kesadaran sedalam-dalamnya bahwa segala sesuatu yang telah, sedang dan akan terjadi itu telah tertulis di lauh al-mahfuzh. Dengan demikian, apapun yang menimpa kita tetap berada di dalam bingkai kesadaran, sehingga musibah akan terasa lebih ringan. Rasulullah saw bersabda dalam do’anya yang terkenal, “…anugrahkanlah pada kami keyakinan yang menjadikan musibah terasa ringan…”. (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim).

Allah Ta’ala berfirman, “Tiada satu bencanapun yang menimpa di muka bumi dan tidak pula pada dirimu kecuali telah tertulis pada kitab sebelum kami menciptakannya. Sunggguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu dan agar kamu tidak terlalu gembira dengan apa yang diberikan Allah padamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri”.(QS. Al-Hadiid: 22-23)

Ketika ada hal-hal yang luput, mengalami penderitaan, menghadapi kesulitan, kita tidak terlalu bersedih hati dan menjadikan kita berprasangka buruk kepada Allah.

3. Hendaknya kita bersyukur karena musibah yang menimpa kita tidaklah lebih besar dari yang menimpa orang lain. Begitu banyak orang yang mendapatkan musibah jauh lebih mengenaskan daripada kita. Seberat apapun musibah dunia yang menimpa kita, yakinlah masih ada lagi yang lebih berat. Tidak sedikit orang yang sebenarnya terkena musibah tapi dia tidak menyadarinya, yakni’ tertimpa musibah dalam agamanya.

Yang mengherankan adalah tidak sedikit orang terjatuh pada musibah agama (musibah diniyah), namun ia sedikitpun tidak merasa sedih. Terjatuh pada perzinahan, makan riba, membunuh jiwa yang tidak halal, pergi ke dukun atau tukang ramal dan membenarkannya adalah di antara musibah diniyah, bahkan yang terakhir bisa menggelincirkan pelakunya dari Islam.. Itulah sebabnya Rasulullah saw mengajarkan kita sebuah do’a agar kita tidak terjerumus musibah ini. Dalam do’anya beliau bersabda, “Ya Allah jangan engkau jadikan musibah kami dalam agama kami”. (HR. Tirmidzi dan Hakim)

4. Hendaknya kita sedapat mungkin tidak berkeluh kesah, menggerutu atas musibah yang melanda kita. Sebab itu semua tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang. Berkeluh kesah juga menunjukkan seseorang tidak ridha dengan takdir Allah Ta’ala. Bagi mereka yang menjaga shalatnya, menjaga kehormatannya, menunaikan zakat, beriman kepada Allah Ta’ala dan Hari Kemudian, maka tidak akan berkeluh kesah.

Mengeluh kepada manusia juga tidak tidak memberi banyak manfaat, karena bisa menodai kesabaran dan keridhaan. Para salafus shalih jika mereka ditimpa musibah sekecil apapun, ia langsung mengeluhkannya kepada Allah. Bahkan di antara mereka ada yang mengeluh kepada Allah karena tali sendalnya putus. Kalau musibah mereka tergolong berat, seperti kematian anak, orang tua, kerabat dan lain-lain mereka berusaha menyembunyikannya dan tidak mengabarkannya kecuali untuk urusan memandikan, menshalatkan, dan menguburkannya.

5. Kita harus yakin bahwa apa yang menimpa jika kita sabar dan ridha, maka Allah Ta’ala pasti memberikan gantinya. Allah Ta’ala akan memberi kenikmatan, berkah, kelezatan, kebaikan yang berlipat ganda. Bahkan musibah yang melanda akan menghapuskan dosa-dosa dan akan menyucikan jiwa-jiwa kita. Allah Ta’ala berfirman, “Mereka itulah yang akan mendapatkan shalawat dari Tuhannya, rahmat dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk” .(QS. al-Baqarah: 157).

Semoga kita menyikapi setiap bencana yang menimpa kita dengan baik dan benar. Sabar dan ridho serta selalu bersyukur kepada Allah Ta’ala, insya Allah kita akan mendapatkan kelezatan iman.

Sumber

Tips Praktis menikmati Musibah

1. Muhasabah Diri
Lakukan muhasabah (evaluasi diri) mengapa musibah itu terjadi? Adakah itu merupakan ujian yang diberikan Allah SWT untuk kita sebagai peningkatan kualitas keimanan? Atau musibah tersebut merupakan teguran atas kekeliruan kita dalam mengelola serta memanfaatkan sumber-sumber daya yang diamanahkan kepada kita, serta atas kesalahan dan dosa-dosa yang kita lakukan kepada Allah SWT?
Muhasabah ini sangat penting agar kita menyadari titik kesalahan dan kekeliruan kita. Sehingga kita dapat bertindak lebih baik di masa-masa selanjutnya.

2. Menerima dengan Ridha
Terimalah musibah yang kita hadapi dengan hati yang ridha. Jikapun kita tidak ridha dengan apa yang terjadi, hal itu tidak akan bisa mengubah apa yang telah berlalu. Dengan keridhaan justru hati menjadi tenang, pikiran menjadi jernih dan lapang untuk menemukan solusi. Sehingga kita dapat bangkit dengan penuh ketegaran melewati musibah tersebut. Sikap ridha juga akan mendatangkan keridhan serta rahmat Allah SWT atasnya. Firman Allah SWT:“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah.” (At-Taubah [9]: 59)

3. Bersabar
Musibah itu selalu terasa pahit dan tidak menyenangkan. Tetapi orang yang sabar akan berusaha menahan perasaan pahit itu dengan ketegaran dan keteguhan hati. Ia menahan diri untuk tidak mengeluh, bersedih yang berkepanjangan atau meratapinya. Hal ini akan berbuah kecintaan Allah SWT, di mana Dia kemudian akan menggantinya dengan pertolongan serta ganjaran Surga. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda:
“Setiap sesuatu yang menimpa seorang muslim, seperti kelelahan dan penyakit, juga kegelisahan dan kesedihan, serta aniaya atau kegalauan; hingga duri yang mengenainya, niscaya Allah hapuskan dosa-dosanya.”

4. Bertaubat jika Bersalah
Adakalanya musibah itu diberikan oleh Allah SWT untuk mengingatkan kita atas kesalahan dan kekeliruan yang kita lakukan. Maksudnya adalah agar kita segera sadar dan kembali ke jalan yang benar. Jika kita telah menyadari bahwa ada kekhilafan yang telah kita lakukan, maka bersegeralah untuk bertaubat, yaitu dengan menyesali kesalahan tersebut, berjanji untuk tidak mengulanginya dan berusaha untuk menggantinya dengan amal yang lebih baik.

5. Memahami Sunnatullah
Boleh jadi ibadah kita sudah mantap, akhlak juga sudah baik, tetapi jika perilaku kita terhadap lingkungan di sekitar kita tidak sesuai dengan sunnatullah, maka musibah pun akan tetap datang. Maka kita harus memperbaiki perilaku kita agar tidak bertentangan dengan sunnatullah.

6. Besyukur
Seorang mukmin yang memiliki kualitas iman yang tinggi bukan saja menerima musibah yang datang dengan sabar serta ridha, bahkan dia dapat bersyukur. Dia menyadari bahwa sesungguhnya musibah yang ditimpakan kepadanya sesungguhnya masih belum seberapa dibandingkan dengan yang diterima orang lain. Ini akan menjadikan ia terus bersyukur, karena merasa Allah SWT masih sayang kepadanya. Ia yakin masih ada nikmat iman dan Islam yang lebih berharga dari dunia dan seluruh isinya.

7. Tetap Optimis
Tidak ada alasan untuk berputus asa, harapan hari esok lebih baik selalu terbuka. Kesenangan itu tidak akan terasa jika tidak ada kesedihan. Sehat juga tidak akan terasa jika tidak ada sakit. Harapan yang baik pasti diberikan Allah SWT kepada setiap orang, sebagaimana dijanjikan oleh-Nya:
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Al-Insyirah [94]: 5-6).

8. Mendekatkan diri kepada Allah
Puncak dari semua ikhtiar yang kita lakukan untuk menghindari dan menerima musibah itu dengan sebaik-baiknya adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kita sadar bahwa Dia mencintai dan menyayangi kita. Maka, apa pun yang diberikan, kita tidak akan menolak-Nya. Dan kita akan tetap setia untuk mencintai-Nya, mentaati perintah-Nya serta meninggalkan larangan-Nya.

Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:“Alangkah menakjubkannya kondisi orang yang beriman, karena seluruh urusannya adalah baik. Dan hal itu hanya terjadi pada orang-orang yang beriman. Yaitu jika ia mendapatkan kesenangan maka ia bersyukur, dan itu adalah kebaikan baginya. Dan jika ia tertimpa kesulitan maka iapun bersabar; dan itu menjadi kebaikan baginya.” Wallahu a’lam bish shawab

 

AINUR ROFIQ

https://www.facebook.com/notes/531944390184896/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar